PICTURES SLIDE SHOW

Jumat, April 17, 2009

FROM MALANG WITH LOVE......!!!!

FOREVERMORE

Women was created from the ribs of man

Not from his head to be upon him

Not from his feet to be walk upon him

But from his side to be equal

Near to his arm to be protected

And close to his heart to be loved……


Aku mencintaimu bukan karena ingin memeluk dan mendekapmu tapi aku mencintaimu karena aku mencintai-Nya….

Tautan waktu berjalan, iring langkah bersama mendewasakan semua rasa perasaan jiwa, tak akan mungkin mengingkari melawan arti cinta, perlahan mulai belajar melaraskan batin menyatukan ruang tingkap pengertian tak pernah ku merasakan penat menjadi beban meski peluh mengalir dan mesti terluka. Menyangsikan cinta dalam keras kehidupan naïf terlahir kewajaran kodrati lepaskan semua.


Demi cinta ,,,,,,,, bersandinglah…..!

Dalam sisi hidupku ini…..

Demi cinta,,,,,,,,, berjanjilah……..!

Melangkah bersama…..




Selasa, April 14, 2009

WAJAH PEMILU KITA

Kepada Siapa Rakyat Berharap?

Oleh: Ali Mustofa, S.Pd.I*

Senin: 13 April 2009

Jangan ditanya wibawa anggota legislatif saat ini. Berbagai isu - dikatakan isu karena sejauh ini belum ada penyelidikan tuntas - terus menerpa anggota DPR, DPRD hingga pejabat pemerintah. Dari mulai isu suap hutan lindung, pembahasan undang-undang maupun peraturan daerah hingga kasus korupsi pejabat pemerintah.

Publik tidak lagi memerlukan bukti-bukti apakah isu tersebut benar atau tidak. Bagi publik, isu suap dan korupsi di legislatif sudah menjadi rahasia umum. Rakyat merasakan betapa kehidupan para anggota legislatif berubah drastis selama beberapa tahun terakhir. Dari yang semula mengendarai sepeda motor atau mobil sederhana, menjadi kaya raya. Rakyat juga tak lagi peduli apakah kekayaan anggota legislatif tersebut diperoleh melalui cara-cara halal dan tidak melanggar hukum.

Pemilu legislatif baru saja usai, banyak kalangan yang meragukan kinerja para anggota caleg untuk menjadi wakil rakyat di perlemen nanti karena banyak dari para caleg yang tidak mengetahui urusan pemerintahan apalagi dunia politik. Tidak heran belakangan ini ada celotehan dari sebagian anggota masyarakat: untuk menjadi kaya, tidak perlu menjadi pengusaha, cukup menjadi anggota DPRD atau DPR. Bahkan yang lebih merisaukan adalah ada anggapan bahwa ingin menjadi anggota legislatif karena tidak mempunyai pekerjaan tetap. Ada juga yang menyatakan korupsi dalam lima tahun terakhir ini melebihi 32 tahun rezim Orde Baru berkuasa. Korupsi sekarang ini sangat terang-terangan dan merata.

Meski tidak mudah membuang kotoran yang kini melekat di wajah DPR/DPRD dan pejabat pemerintah, bukan berarti tidak ada jalan untuk membersihkannya. Dalam beberapa kasus suap dan korupsi setidaknya ada dua mekanisme yang bisa ditempuh. Pertama, kepemimpinan yang kuat. Itulah persoalan utama republik ini, bukan ekonomi atau politik. Kepemimpinan seperti ini, yang yakin akan dirinya dan tahu apa yang dilakukannya, mampu mengarahkan program-program pemerintahnya untuk mengatasi krisis yang masih terus merundung.

Kepemimpinan yang demikian tidak akan gentar menghadapi tantangan yang pasti menghadangnya. Pertanyaannya tentu adalah, apakah kelompok orang yang sekarang duduk di tampuk kekuasaan republik ini sudah merupakan atau menunjukkan kepemimpinan yang kokoh? Satu hal pasti, para pemegang kekuasaan di pucuk negeri ini adalah pemimpin yang membawahkan seluruh rakyat, bukan lagi sekedar pemimpin dan anggota partai tertentu.

Jadi, mereka berdiri di atas seluruh partai, bukan lagi bagian dari partainya sendiri. Ini, seperti kata Habibie, demi objektivitas kepemimpinannya. Keterikatan yang terus berlangsung antara seorang pejabat negara dan partainya akan mudah sekali menimbulkan desas-desus bahwa partainya, bagaimana pun, akan mendapat pengistimewaan dalam berbagai hal. Itu jelas tidak sehat.

Di sisi lain, akan muncul kesan bahwa pelepasan jabatan dalam partai dapat mengakibatkan pejabat itu merasa kehilangan dukungan dari orang-orang partainya. Pejabat yang kurang percaya diri bisa limbung karena seolah harus berdiri sendiri tanpa dukungan yang selama ini dinikmatinya. Jadi, ada ketakutan untuk lepas dari pegangan. Di sinilah kepemimpinan dirinya diuji. Walaupun sebanyak mungkin tentang “modal” kepercayaan diri disodorkan, namun bagi seorang yang beriman, keyakinan diperoleh semata melalui pertalian erat dengan Yang Maha Kuasa. Tanpa pernah putus asa akan pertolongan Allah, seorang pemimpin akan memiliki dasar yang kuat untuk mengarahkan negeri ini ke alur pemulihan yang benar.

Mekanisme kedua melalui hukum. Dengan terbentuknya kepemimpinan yang kokoh maka akan terbentuk undang-undang dan hukum yang kuat. Polisi atau kejaksaan dapat melakukan penyelidikan tanpa adanya intervensi dari pihak manapun dan segera merespon delik aduan agar tidak mempertebal kayakinan rakyat bahwa penindakan kasus suap dan korupsi hanya basa-basi belaka, tapi juga akan menimbulkan dugaan bahwa korupsi dan suap adalah jaring-jaring raksasa. Semua orang terperangkap didalamnya. Jika demikian, rakyat tidak lagi bisa berharap kepada siapa pun. Reformasi yang diharapkan dapat mengubah perilaku pejabat, justru sebaliknya.

*. Penulis adalah mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Malang,

Konsentrasi Pendidikan Islam.

Jumat, April 10, 2009

THE VIEWS OF ORIENTALISTS ON THE HADITH LETERATURE

THE VIEWS OF ORIENTALISTS ON THE HADITH LETERATURE
Oleh: Ali Mustofa, S.Pd.I*
  1. PENDAHULUAN

Orientalisme pada awalnya adalah salah satu kajian keilmuan yang tergabung di dalam ilmu Antropologi, memiliki tujuan yang sama dengan ilmu induknya tersebut yaitu untuk mempelajari kebudayaan lain agar bisa menemukan kebudayaan terbaik yang bisa dijadikan kebudayaan pilot project bagi seluruh dunia.

Namun pada perkembangan lebih lanjut, antropologi kemudian berubah menjadi sebuah kajian keilmuan dari sebuah bangsa Eshtablished terhadap kebudayaan yang outsiders. Karena massyarakat merasa mereka lebih berbudaya daripada masyarakat oriental (timur), baik itu timur jauh, timur tengah, timur selatan. Meliputi semua hal budaya, adat, norma dan juga agama-agama masyarakat timur.

Aktivitas orientalisme dalam memurtadkan ummat dari aqidahnya adalah dengan memisahkan ummat dari al-Qur`an dan as-Sunnah. Tahap pertama yang mereka lakukan adalah berusaha mementahkan sunnah dan hadis-hadis Rasulullah SAW. yang kemudian mengarahkan pada interpretasi Qur`an bukan berdasarkan sunnah, tapi logika saja. Proyek ini sebenarnya bukan hal yang baru dalam tantangan ummat Islam.

  1. PEMBAHASAN

1. Pengertian

Kata hadis mula-mula berarti suatu pemberian kabar (a communication) atau berita (narrative) pada umumnya, baik yang bersifat agama maupun duniawi, kemudian mempunyai arti yang khusus, yaitu kumpulan perbuatan dan kata-kata Nabi SAW dan sahabat-sahabatnya. Dalam arti terakhir ini seluruh materi riwayat (hadis) yang suci kaum muslimin disebut “hadis”, maka pengetahuan ytentang hadis disebut Ulum al-Hadis.1

Orientalisme adalah studi Islam yang dilakukan oleh orang-orang Barat. Kritikus orientalisme bernama Edward W Said menyatakan bahwa orientalisme adalah suatu cara untuk memahami dunia Timur berdasarkan tempatnya yang khusus dalam pengalaman manusia Barat Eropa.2

Secara bahasa orientalisme berasal dari kata orient yang artinya timur. Secara etnologis orientalisme bermakna bangsa-bangsa di Timur, dan secara geografis bermakna hal-hal yang bersifat timur, yang sangat luas ruang lingkupnya. Orang yang menekuni dunia ketimuran ini disebut orientalis. Menurut Grand Lorousse Encyclopedique seperti dikutip Amin Rais3, orientalis adalah sarjana yang menguasai masalah-masalah ketimuran, bahasa-bahasanya, kesusastraannya, dan sebagainya. Karena itu orrentalisme dapat dikatakan merupakan semacam prinsip-prinsip tertentu yang menjadi ideologi ilmiah kaum orientalis.

Kata isme menunjukkan pengertian tentang suatu faham. Jadi orientalisme bermakna suatu faham atau aliran yang berkeinginan menyelidiki hal-hal yang berkaitan dengan bangsa-bangsa di timur beserta lingkungannya.

2. Persepsi Orientalis Terhadap Hadis

Orientalisme yang pada awalnya adalah salah satu kajian keilmuan yang tergabung di dalam ilmu Antropologi, memilki tujuan yang sama dengan ilmu induknya tersebut yaitu untuk mempelajari kebudayaan lain agar bisa menemukan kebudayaan terbaik yang bisa dijadikan kebudayaan pilot project bagi seluruh dunia.

Namun pada perkembangan lebih lanjut, antropologi kemudian berubah menjadi sebuah kajian keilmuan dari sebuah bangsa Eshtablishedterhadap kebudayaan yang outsiders. Karena masyarakat merasa mereka lebih berbudaya daripada masyarakat oriental (timur), baik itu timur jauh, timur tengah, dan timur selatan. Meliputi semua hal budaya, adat, norma dan juga agama-agama masyarakat timur.

Di dalam salah satu bukunya, Orientalism, Edward Said mengatakan bahwa kegiatan yang dilakukan oleh para orientalis dalam meneliti agama Islam, khususnya hadis, bukanlah pekerjaan yang non profit oriented, artinya mereka memilki tujuan tertentu dengan meneliti agama Islam sedemikian rupa. Tujuan itu anatara lain adalah mencari kelemahan Islam dan kemudian mencoba menghancurtkannya pelan-pelan dari dalam. Walaupun tidak semua orientalis memilki tujuan seperti itu paling tidak itu sangat kecil. Hal inilah yang menjadi alasan bagi Hasan Hanafi cs untuk membalas perlakuan mereka denga giliran balik menyerang kebuadayaan Barat denga cara mempelajarinya dan kemudian juga dengan cara yang sistematis mencoba menggerogotinya dari dalam.3

Mereka memilih hadis dalam upayanya menyerang umat Islam karena kedudukan hadis yang sangat penting dalam kehidupan kaum muslim. Hadis adalah sumber hukum kedua setelah al-Qur`an sekaligus juga sebagai penjelas dari al-Qur`an, karena hadis hanyalah perkataan manusia yang bisa saja mengandung kesalahan dan unsur-unsur negatif lainnya. Mereka sulit untuk mencoba mendistorsikan al-Qur`an karena al-Qur`an adalah sumber transendental dari tuhan yang telah terjamin dari semua unsur negatif.

Ada tiga hal yang sering dikemukakan orientalis dalam penelitian mereka terhadap al-Hadis, yaitu tentang perawi hadis, kepribadian Nabi Muhammad SAW, metode pengklasifikasian hadis:

1. Aspek Perawi Hadis

Para orientalis sering mempertanyakan tentang para perawi yang banyak meriwayatkan hadis dari Rasulullah, seperti yang kita ketahui bersama para sahabat yang terkenal sabagai perawi bukanlah para sahabat yang banyak menghabiskan waktunya bersama rasulullah seperti Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali. Namun yang banyak meriwayatkan hadis adalah sahabat-sahabat junior dalam artian karena mereka adalah orang”baru” dalam kehidupan Rasulullah. Dalam daftar sahabat yang banyak meriwayatkan hadis tempat teratas diduduki oleh sahabat yang hanya paling lama 10 tahun berkumpul dengan Nabi, seperti Abu Hurairah, Sayyidah Aisyah, Anas bin Malik, Abdullah ibn Umar dll. Abu Hurairah selama masa 3 tahun dia berkumpul dengan Nabi telah berhasil meriwayatkan lebih dari 5800 hadis, Sayyidah Aisyah mengumpulkan lebih dari 3000 hadis dan demikian juga dengan Abdullah ibn Umar, dan Anas.

2. Aspek Kepribadian Nabi Muhammad SAW

Tidak cukup dengan menyerang para perawi hadis, kepribadian Nabi Muhammad juga perlu dipertanyakan. Mereka membagi status nabi menjadi tiga; sebagai rasul, kepala negara, dan pribadi biasa sebagaimana orang kebanyakan. Bahawa selama ini hadis dikenal sebagai segala sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad baik perbuatan, perkataan dan ketetapan beliau juga perlu direkonstruksi ulang. Sesuatu yang berdasarkan dari Nabi baru disebut hadis jika sesuatu tersebut berkaitan dengan hal-hal praktis keagamaan, karena jika tidak, hal itu tidak layak untuk disebut dengan hadis, karena bisa saja hal itu hanya timbul dari status lain seorang Muhammad.

3. Aspek Pengklasifikasian Hadis

Sejarah penulisan hadis juga tidak lepas dari kritikan mereka. Penulisan hadis yang baru dilakukan beberapa dekade setelah Nabi Muhammad wafat juga perlu mendapat perhatian khusus. Hal itu, lanjut mereka, membuka peluang terhadap kesalahan dalam penyampaian hadis secara verbal, sebagaimana yang dikatakan oleh montgomerywatt, salah seorang orientalis ternama saat ini:

“semua perkataan dan perbuatan Muhammad tidak pernah terdokumentasikan dalam bentuk tulisan semasa Ia hidup atau sepeninggalnya, pastinya hal tersebut disampaikan secara lisan ke lisan, setidak-tidaknya pada awal mulanya. Hal itu diakui ataupun tidak sedikit banyak akan mengakibatkan distorsi makna, seperti halnya dalam permainan telpon-telponan anak kecil”.

Hal diatas adalah sebagian dari pemikiran orientaslis tentang Islam, lebih spesifik lagi tentang hadis. Hal itu sedikit banyak bisa memberikan pemhaman dan wacana baru agar kita bisa melihat hadis, sesuatu hal berharga yang kita punyai tidak hanya dengan pandangan dan penilaian kita tapi juga dengan sisi pandang orang lain, yang boleh jadi akan lebih akan lebih objektif dari kita. Kita harus berterima kasih kepada mereka karena telah meneliti kehidupan kita, sehingga kita bisa mengambil hasil penelitian mereka sebagai bahan koreksi dan pembelajaran bersama, terlepas dari niat-niat buruk dari sebagian mereka.

3. Hadis dan Orientalis

Sarjana barat yang pertama kali melakukan kajian hadis adalah Ignaz Goldziher, seorang orientalis Yahudi kelahiran Hongaria yang hidup antara tahun 1850-1921 M. Pada tahun 1890, ia mempublikasikan hasil penelitiannya tentang hadis dalam sebuah buku yang berjudul Muhammedanische Studien (Studi Islam). Dan sejak saat itu hingga sekarang, buku tersebut menjadi “kitab suci” di kalangan orientalis.

Dibanding dengan Goldziher, hasil penelitian Schacht memiliki “keunggulan”, karena ia bisa sampai pada kesimpulan yang menyakinkan bahwa tidak ada satupun hadis yang otentik dari Nabi Muhammad, khususnya hadis-hadis yang berkaitan dengan hukum-hukum Islam. Sementara Goldziher hanya sampai pada kesimpulan yang meragukan adanya otentisitas hadis. tidak aneh jika kemudian buku Schacht memperoleh reputasi dan sambutan yang luaar biasa.4

Baik Ignaz maupun Schacht, keduanya tidak berbicara tentang otoritas hadis sebagai sumber hukum dalam Islam. Karena keduanya telah sepakat bahwa hadis tidak memiliki otentitas sebagai sebuah ajaran yang bersumber dari Nabi Muhammad, padahal hadis dapat menjadi sumber ajaran Islam, ketika ia otentik dari Nabi, sehingga tidak mungkin hadis dapat digunakan sabagai sumber ajaran Islam.

Keduanya justru membuat kita-kiat yang dapat dipergunakan sebagai pendukung hasil penelitian mereka; bahwa apa yang disebut sebagai hadis, bukanlah sesuatu yang otentik dari Nabi Muhammad. Setidaknya ada tiga kiat-kiat yang digunakan guna menyokong pendapat mereka:

a. Mereka mendistorsi teks-teks sejarah. Semisal tuduhan goldziher terhadap Imam ibn Syihab al-Zuhri (w. 123 H). Menurutnya Imam al-Zuhri telah melakukan pemalsuan hadis, dan ia juga mengubah teks-teks sejarah yang berkaitan dengan Ibn Syihab al-Zuhri, sehingga menimbulkan kesan bahwa Imam al-Zuhri memang mengakui dirinya sebagai pemalsu hadis.

Menurut Goldziher , al-Zuhri pernah berkata, inna haula al-umara akrahuna `ala kitabah ahadis (para penguasa itu memaksa kami untuk menulis hadis). Kata ‘ahadis’ dalam kutipan Goldziher tidak menggunakan artikel “al” (al-Ahadis) yang dalam bahasa Arab memiliki makna definitif (ma`rifah), sementara dalam teks yang asli, yang merupakan ucapan Imam ibn Syihab yang sebenarnya, seperti yang terdapat dalam kitabIbn Sa`ad dan Ibn `Asakir, adalah ‘al-Ahadis’ yang berarti hadis-hadis yang telah dimaklumi secara definitif, yaitu hadis-hadis yang berasal dari Nabi Muhammad.5

b. Membuat teori-teori rekayasa. Bahwa untuk memperkuat tuduhannya yang menyatakan bahwa apa yang disebut hadis adalah bukan sesuatu yang otentik dari Nabi Muhammad, melainkan hanya merupakan bikinan para ulama abad pertama dan kedua, Schacht membuat teori tentang ‘rekonstruksi’ terjadinya sanad hadis. Teori ini dikemudian haridikenal sebagai teori Projecting Back (proyeksi ke belakang).

Menurut Schacht, jurisprudensi Islam belum eksis dan permanen pada masa al-Sya`by (w. 110 H.). Hal ini artinya bahwa apabila terdapat hadis-hadis yang berkaitan dengan hukum Islam, maka sejatinya hadis-hadis tersebut merupakan buatan orang-orang yang lahir dan hidup sesudah al-Sya`by. Schacht berpendapat bahwa jurisprudensi Islam baru dikenal sejak masa pengangkatan para qadhi (hakim agama), yang baru diadakan pada dinasti bani Umayah.

c. Ketiga melecehkan ulama hadis, dimana kiat para orientalis selanjutnya adalah melecehkan kredibilitas ulama hadis, sembari menuduh mereka sebagai pemalsu. Banyak ulama yang mereka sorot dan menjadi sasaran pelecehan ini, anatara lain sahabat Abu Hurairah (w. 57 H.), Imam ibn Syihab al-Zuhri (w. 123 H.), dan Imam Muhammad ibn Ismail al-Bukhari (w. 256 H.).

Tiga tokoh tersebut menjadi sasaran pokok serangan para orientalis karena ketiganya menempati posisi-posisi yang strategis dalam kajian ilmu hadis; Abu Hurairah adalah sahabat yang tercatat sebagai sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadis dari Nabi Muhammad. Dan al-Zuhri disebut-sebut sebagai orang yang pertama kali membukukan hadis. Sementara al-Bukhari adalah tokoh yang menulis kitab paling otentik sesudah al-Qur`an, yaitu kitab Shahih al-Bukhari.

4. Kritik Hadis Versi Orientalis

Kalau ada diantara orientalis yang pernah berusaha menciptakan metode kritik hadis, maka sudah bisa dipastikan arajnya, yaitu untuk menjegal metodologi yang selama ini ada. Dengan demikian akan terjadi perubahan besar dalam hukum-hukum Islam akibat dari berubahnya hadis shahih menjadi maudhu` atau yang maudhu` manjadi shahih.

Dan akibat yang ditimbulkan sudah bisa kita bayangkan juga. Nantinya syariah Islam akan berubah 180% derajat. Sesuatu yang haram bisa jadi halal dan yang halal bisa jadi haram. Bhakan zina, khamar, judi, mut`ah, mencuri dan segala kemungkaran menjadi halal. Dan sebaliknya, jihad, qishas, hudud dan menegakkan hukum Islam menjadi terlarang. Karena hadisnya telah berubah status. Dan perubahan itu ditentukan oleh para orientalis.

C. PENUTUP

1. Kesimpulan

Kendati orang-orang barat sudah lama mempelajari kajian-kajian keislaman secara umum, nampaknya baru pada masa-masa belakangan ini, mengarahkan kajiannya secara khusus terhadap hadis dan ilmu hadis.

Para orientalis barat itu walaupun ada satu dua yang niatnya baik dan jujur, namun umumnya adalah orang-orang yang punya niat tidak baik terhadap ajaran Islam. Kalaupun niatnya baik, tapi karena mereka tidak mengenal ajaran Islam dengan benar sesuai dengan ajaran Rasulullah SAW, makabaik metode maupun kesimpulan akhirnya selalu melenceng jauh dari objektifitas.

FOOTNOTES

1. Hanafi, A, “Orientalisme Ditinjau Menurut Kaca Mata Agama” Jakarta Pustaka al-Husna, 1981

2. Edward W Said, Orientalisme, Terj. Asep Hikmat, Bandung: Pustaka Salman, 1996

3. M. Amin Rais, Cakrawala Islam, Bandung : Mizan, 1986

4. M. M. Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, Jakarta : PT. Pustaka Firdaus, 1994

5. Mustafa al-Siba`i, al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri` al-Islami, Beirut, 1978, hal. 15

6. Diambil dari www.sukmanila.multiply.com

7. Diambil dari www.ikhwaninteraktif.com


* Penulis adalah mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Malang

Konsentrasi Pendidikan Islam.




TURKI USMANI EMPIRE

TURKI USMANI : PERKEMBANGAN POLITIK DAN PERADABAN ISLAM

Oleh: Ali Mustofa, S.Pd.I*

  1. Pendahuluan

Dalam sejarah Islam, Khalifah-Sultan dari Konstantinopel menjadi raja yang paling kuat, ysng mewarisi tidak hanya kekhalifahan Baghdad, tetapi juga kekaisaran Bizantium. Dengan hancurnya kekuatan Mamluk, dan berkembangnya kekuasaan bangsa Turki di Bosporus, maka fokus kekuatan Islam diarahkan ke Barat. Kenyataannya, pada saat itu pusat peradaban dunia telah berpindah ke Barat. Penemuan Amerika dan Tanjung Harapan telah mengalihkan perdagangan dunia ke rute-rute baru, dan seluruh kawasan Mediterania Timur mulai tenggelam di balik tirai sejarah. Di sini, sejarah kekhalifahan Arab dan dinasti-dinasti muslim yang didirikan pada Abad Pertengahan di atas reruntuhan kerajaan Arab telah sampai pada titik akhir, dan sejarah modern kerajaan-kekhalifahan Usmani dimulai.¹

B. Pembahasan

Kemunculan Dinasti Turki Usmani

Sejumlah migrasi yang mengantarkan pada berdirinya rezim Saljuk, Mongol, dan Tumuriyah di Iran juga mengantarkan pada lahirnya sebuah imperium Muslim yang besar di wilayah barat. Pada akhir abad sebelas, masyarakat Turki mulai menaklukkan beberapa negeri yang sebelumnya bukan bagian dari negeri Muslim. Bermula dari migrasi tersebut lahirlah negara Saljuk di Anatolia dan kemudian disusul dengan lahirnya imperium Usmani di Anatolia dan Balkan. Imperium Usmani telah menyerap sejumlah negeri Muslim di Timur Tengah dan Afrika Utara.

Imperium Usmani mewarisi pola masyarakat Saljuk-Iran dan ia memberinya sebuah corak inovatif. Imperium Usmani menjadikan negara sebagai institusi yang dominan, dan menjadikan kalangan elite keagamaan, warga nomadik Turki di Anatolia, dan seluruh rakyat berada di bawah kekuasaan negara. Pengembangan bentuk varian masyarakat Islam yang memusat ini berlangsung di tengah sebuah periode sejarah yang kompleks yang terbagi dalam beberapa fase: fase migrasi Turki dan pembentukan rezim Turki-Saljuk di Anatolia antara tahun 1071 dan 1234; fase penaklukkan Turki terhadap imperium Bizantium dan pembentukan sistem Usmani antara tahun 1280 sampai 1574; dan fase transformasi dan desentralisasi imperium Usmani pada abad tujuhbelas dan delapanbelas.²

Ketika Usmani menaklukkan Konstantinopel (yang kini dikenal sebagai Istanbul) pada tahun 1453, mereka telah berada pada posisi siap membangun sebuah kerajaan, karena negeri tersebut mampu berkembang setahap demi setahap, dan mempunyai dasar yang lebih kuat dibandingkan kerajaan lain dan akan menjadi kerajaan paling berhasil dan tahan lama. Para sultan membentuk monarki absolut, mirip dengan model Bizantium yang melihat kekuasaan pusat sebagai pasukan besar pelayan pribadi sultan. Kekuatan Muhammad (Keturunan Dinasti Usmani) sang Penakluk didasarkan pada dukungan bangsawan Balkan, yang kebanyakan sudah masuk Islam dan infantri “pasukan baru” (yeni-cheri) yang semakin penting posisinya sejak ditemukan bubuk mesiu. Para Janissari, sebagai budak yang sudah masuk Islam, adalah orang luar yang tidak mempunyai kepentingan di negara tersebut, selanjutnya menjadi kekuatan independen di belakang sultan. Usmani juga memegang etos cita-cita lama mereka, memandang diri sendiri sebagai penjaga negara perbatasan, dan menjadikan jihad untuk melawan musuh-musuh Islam.² Di sebelah barat mereka menghadapi kerajaan Kristen dan di sebelah timur menghadapi Safawi Syi`ah. Usmani menjadi kelompok yang sama bahayanya dengan Syafawi dan juga terjadi pembataian kaum Syi`ah yang hidup di wilayah Usmani.³

Ekspansi Turki Usmani ke Arab dan Afrika Utara

Untuk sekitar dua pertiga abad setelah didirikan di Anatolia pada 1300 dengan mengorbankan kekaisaran Bizantium, dan didirikan di atas reruntuhan kerajaan Saljuk, kerajaan Turki Usmani hanyalah sebuah emirat di daerah perbatasan.

Negara ini selalu diliputi suasana peperangan dan pada saat itu senantiasa dalam keadaan genting. Ibukota negara ini, pertama kali didirikan pada 1326, adalah Brusa (Bursa). Mendekati 1366, emirat itu telah berkembang lebih stabil, mendapatkan pijakan yang lebih kokoh di daratan Eropa, dan berkembang menjadi sebuah kerajaan besar dengan Adrianopel (Edirna) sebagai ibukotanya. Penaklukkan pada 1453 oleh Muhammad II, Sang Penakluk (1451 – 1481) secara formal mengantarkan negara ini pada satu era baru yaitu era kerajaan.

Raksasa baru ini berdiri mengangkang di Bosporus, satu kakinya di Asia dan kaki lainnya di Eropa. Perluasan wilayah yang is lakukan menjadikannya tidak hanya pewaris kekaisaran Bizantium, tetapi juga – berkat hancurnya kekuatan Mamluk- mewarisi kekhalifahan Arab. Pewarisan tanah dari Timur dan Brat ini diimbangi dengan pewarisan berbagai pemikiran, dan gabungan dari berbagai peninggalan itu bisa jadi merupakan fakta yang paling nyata dalam sejarah Turki Usmani. 4

Sebagian besar penaklukkan wilayah Afrika Utara dicapai selama masa kekuasaan Sulayman I (1520-1566), seorang anak Penakluk Suriah-Mesir dan orang yang beridiri di balik puncak kejayaan kerajaan Usmani. Pada masa pemerintahannya, sebagian besar wilayah Hongaria ditaklukkan. Wina tunduk, dan Rhodesdapat diduduki. Kekuatan Usmani terus melebarkan sayapnya dari Budapes di Danube ke Bahdad di Tigris, dan dari Crimea hingga air terjun pertama sungai Nil. Tidak kurang dari tiga puluh enam sultan – semuanya laki-laki dari garis keturunan Usman – berkuasa dari 1300 hingga 1922. 5

Puncak Kegemilangan Turki Usmani dan Peradaban Islam

Kerajaan ini mencapai puncaknya pada masa Sulaiman al-Qanuni (“Sang Pemberi Keputusan”) (1520-1566), yang di Barat dikenal sebagai Sulaiman si Cemerlang. Dibawah pemerintahannya, kerajaan ini mencapai batas ekspansinya, dan Istanbul menikmati kebangkitan budaya, yang terutama ditandai oleh arsitektur yang sangat indah, dan yang paling terkenal adalah arsitek istana Sinan Pasya (w. 1578). Masjid-masjid Usmani yang tersebar di seluruh negeri mempunyai persamaan gaya yang khusus: ruangan ysng luas, terang benderang, kubahnya rendah, dan menara yang tinggi. Istana juga melindungi kemajuan lukisan, sejarah, dan ilmu kedokteran sampai tingkat tertinggi, membangun observatori pada tahun 1579, dan tergugah oleh penemuan-penemuan baru Eropa di bidang navigasi dan geografi. Arus informasi dari Barat sangat deras selama tahun-tahun ekspansif kerajaan, di samping prestasi-prestasi yang diraih Eropa, negara Usmani adalah kekuatan terbesar di dunia.

Usmani juga memberi orientasi khusus pada Islam untuk negara mereka. Di bawah Sulaiman, syariah mendapatkan ststus tertinggi dibandingkan negara Muslim sebelumnya. Syariah menjadi hukum resmi bagi semua Muslim di seluruh negeri itu, dan Usmani jugalah yang pertama kali memberi bentuk umum pengadilan syariah. Ahli-ahli hukum (qadi) menyelenggarakan hukum di pengadilan, dan konsultan mereka (mufti), yang menginterpretasikan hukum, dan para guru di madrasah-madrasah diangkat sebagai pejabat pemerintahan, membuat hubungan moral dan religius antara sultan dan rakyatnya. Kebijakan seperti ini sangat berharga di propinsi-propinsi Arab. .6

Setelah berakhirnya pemerintahan Sulaiman, kurikulum madrasah semakin sempit: studi filsafat dikurangi sangat drastis dan kini dikonsentrasikan pada fiqh. Kedudukan Islam di kesultanan Usmani adalah komunalis dan sektarian. Umat Islam merasa sebagai pemenang ortodoksi melawan orang kafir yang menekan dari segala arah. Ulama, bahkan kaum sufi, menyerap etos ini dan ketika kerajaan untuk pertama kalinya menunjukkan tanda kemunduran, kecenderungan ini semakin besar. Jika istana tetap terbuka terhadap ide-ide baru dari Eropa, madrasah-madrasah menjadi pusat oposisi terhadap semua eksperimen yang berasal dari orang kafir Eropa.

Pada abad ke-16, Sulaiman telah memberi kekebalan diplomatik kepada para pedagang Eropa. Traktat itu dikenal sebagai Kapitulasi (karena disusun dengan capita: bagian atas) yang berarti bahwa para padagang Eropa yang hidup di wilayah Usmani tidak terikat oleh hukum setempat; pelanggaran-pelanggaran mereka akan diadili dengan hukum pengadilan mereka sendiri yang dikepalai oleh konsul-konsul mereka sendiri. Sulaiman telah menegosiasikan traktat itu dengan bangsa-bangsa Eropa dengan menganut status kesejajaran. Tetapi pada abad ke-18, tampak jelas bahwa kapitulasi-kapitulasi tersebut memperlemah kedaulatan Usmani, terutama ketika traktat tersebut diperluas pada tahun 1740 untuk orang Kristen di kerajaan tersebut, yang kini “dilindungi” seperti orang-orang Eropa lain, dan tidak lagi menjadi pihak yang berada di bawah kekuasaan pemerintah Usmani.7

Di jazirah Arabia, Muhammad ibnu Abdul Wahhab (1703-1792) berhasil memisahkan diri dari Istanbul dan mendirikan negara di Arab Tengah dan Teluk Persia. Dia adalah pembaharu khas dalam tradisi Ibnu Taimiyah. Dia yakin bahwa krisis yang terjadi sebaiknya diatasi dengan kembali kepada al-Qur`an dan sunnah, serta dengan menolak semua ajaran penyerta, etrmasuk fiqih zaman pertengahan, tasawuf, dan filsafat, yang kebanyakan orang-orang Islam menganggap sebagi aturan normatif. Karena sultan Usmani tidak menyamakan pandangan dengan Islam yang murni, Abdul Wahhab menganggap semua sultan adalah orang yang inkar dan layak untuk mati. Tekniknya yang agresif itu akan digunakan oleh beberapa kaum fundamentalis pada abad ke-20, periode yang di dalamnya terdapat lebih banyak perubahan dan kekerasan. Wahhabisme adalah bentuk Islam yang masih dipraktekkan sampai saat ini di Arab Saudi, agama puritan berdasarkan interpretasi harfiah murni kitab suci dan tradisi Islam pada masa-masa awal.

C. Kesimpulan

Sampai abad ke-18, Kesultanan Usmani berada pada kondisi kritis. Perdagangan semakin terpuruk; suku-suku Badui di propinsi-propinsi Arab dan para Pasya lokal tidak bisa dikendalikan oleh Istanbul; yang seringkali meng-korupsi dan mengeksploitasi penduduk, disiplin militer melemah, kesulitan ekonomi menyebabkan korupsi dan penggelapan pajak. Warga kelas atas hidup dalam kemewahan walaupun pendapatan menurun; dan perdagangan menurun sebagai akibat semakin tajamnya kompetisi di Eropa dan gubernur cenderung mengisi kantongnya sendiri. Sedang Barat memperoleh kemenangan demi kemenangan. Tetapi Usmani tidak terlalu khawatir. Sultan Salim III mengambil teladan dari Eropa, dengan mengasumsikan bahwa reformasi tentara di perbatasan dengan Barat akan mengembalikan keseimbangan kekuatan. Pada tahun 1789, dia membuka sejumlah sekolah militer dengan instruktur dari Perancis.di situ, murid-murid belajar bahasa Eropa danilmu pengetahuan baru Barat bersamaan dengan pelajaran seni bela diri modern. Tetapi ini pun tidak cukup untuk menangkis ancaman Barat. Umat Islam menyadari bahwa Eropa telah menyusun bentuk masyarakat yang sama sekali baru sejak Kesultanan Usmani berdiri, bahwa mereka telah menanamkan pengaruh pada dunia Islam dan dalam waktu dekat akan mencapai posisi kekuatan dunia.

Kondisi buruk pada akhir abad ke-18, bukan disebabkan oleh ketidakmampuan atau fatalisme Islam seperti yang sering diasumsikan orang-orang Eropa yang arogan. Setiap negara agraris mempunyai ketrbatasan harapan hidup, dan negara-negara muslim ini, yang mewakili cita-cita terakhir negara agraria, sudah sampai pada usia alaminya. Pada periode pra-modern, kerajaan-kerajaan Barat dan Kristen juga mengalami keruntuhan dan kemunduran. Negara-negara Islam juga pernah jatuh sebelumnya. Dalam tiap masa sulit itu, umat Islam berhasil bangkit dari puing-puing, dan bangkit lagi dengan prestasi yang lebih besar. Tetapi ini lain. Kelemahan Muslim pada abad ke-18 bersamaan dengan kebangkitan bentuk peradaban Barat yang sama sekali berbeda dan saat itu dunia Muslim akan menyadari kesulitan dalam mengahadapi tantangan tersebut.8

Catatan Kaki

1. Hitti, Philip K. History Of The Arabs; From the Earliest Times to the Present, Terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi. (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta,2006) 902

2. Lapidus, Ira M. A History of Islamic Societies: Sejarah Sosial umat Islam, bagian satu & dua. Terj. Gufron. A. Mas`adi.(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), 468.

3. Amstrong, Karen. Islam: A Short History: Sepintas Sejarah Islam, Terj. Ira Puspito Rini. (Yogyakarta: Ikon Teralitera, 2002) 153

4. Hitti, Philip K. History Of The Arabs; From the Earliest Times to the Present, Terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi. (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta,2006) 906

5. Ibid., hal, 910

6. Amstrong, Karen. Islam: A Short History: Sepintas Sejarah Islam, Terj. Ira Puspito Rini. (Yogyakarta: Ikon Teralitera, 2002) 158

7. Ibid., hal, 161

8. Ibid., hal, 162

*. Penulis adalah mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Malang Konsentrasi Pendidikan Islam



Senin, April 06, 2009

KEPADA HATI ITU....!!!!

Kepada Hati Itu....!!!

Kulihat bunga bermekaran di taman hatimu
Pelangi yang penuh warna menghiasi langit birumu
Indah...
Ada bahagia di raut wajahmu
Syukur...
Hanya itu yang bisa ku ucap, karena mungkin kini kau telah menemukan sebuah "cahaya"...

Cinta suci akan melahirkan pikiran yang suci,
Cinta suci akan melahirkan perbuatan yang suci,
Cinta suci akan melahirkan peradaban yang suci,
So... sucikanlah hati, karena cinta berasal dari hati yang tulus.

Pandanglah segala hal dengan kebaikan maka segalanya akan indah...


Kepada Hati Itu.....!!!

“Cahaya” yang telah menjadikan bunga-bunga bermekaran di pagi hari

Harummu mewangi hiasi hari-hari penuh pesona

Bertebaran aroma cinta mengharap ridhoNya

Merenda hari-hari bersama “cahaya” menuju pulau impian berdua

Kini “cahaya” itu telah bersinar walau masih samar tapi

Aku berharap bisa merasakan “cahayamu” menyinari wajahku saat ini

Jika aku bisa hidup lebih lama

Aku ingin “cahayamu” tetap abadi

Melukis pelangi dengan “cahayamu” yang indah.....

Tuhan...! aku berbisik kepadaMu....?

“jangan jauhkan aku dengan “cahaya”Mu....

Agar aku bisa bersyukur akan anugerahMu yang terindah.....!


Kepada Hati Itu.....!!!

Aku mencoba meraih “cahayamu” dengan asa tersisa

Merengkuh sukma menanti sebuah “cahaya”....

Tuhan....! sekali lagi aku berbisik kepadaMu....?

“dekatkan aku pada “cahaya”Mu....

Agar aku bisa bersyukur akan “cahaya”Mu yang terang......!






Jumat, April 03, 2009

TAFSIR NUMERIK

MENGENAL NILAI NUMERIK DARI HURUF-HURUF ARAB

Oleh: Ali Mustofa

Sebelum membahas tentang nilai-nilai numerik dari abjad arab, perlu kiranya penulis jelaskan bagaimana urutan abjad arab yang sebenarnya. Penulis yakin bahwa hampir setiap muslin telah hafal huruf-huruf Arab (huruf hijaiyah), tetapi mungkin hanya segelintir orang yang mengetahui urutan abjad yang benar. Kalau kita hafal abjad latin dari A sampai Z, maka penulis berfikir bahwa sebagai muslim yang pedomannya Al Qur’an yang menggunakan bahasa Arab (atau ditulis dengan huruf Arab), tidak ada salahnya mengetahui juga urutan abjad Arab secara benar. Kalau selama ini kita mengenal abjad Arab dari ALIF sampai YA, itu adalah abjad Arab yang disusun dan dikelompokkan menurut kemiripan bentuknya. Bagaimana susunan atau urutan abjad Arab yang sebenarnya? Urutan huruf Arab yang sebenarnya adalah dari ALIF sampai GHAIN. Penulis sampai sekarang masih ingat sewaktu masih dibangku SD Guru mengajarkan urutan abjad Arab beserta nilai numeriknya (cuma waktu itu tidak ada penjelasan tentang kegunaannya) melalui sebuah syair sebagai berikut:

A-BA-JA-DUN HA-WA-ZUN

HA-THO-YA-KUN LA-MA-NUN

SA-NGA-FA-SHUN QO-RO-SYUN

TA-TSA-KHO-DZUN DHO-DHLO-GHUN

Dari syair tersebut diketahui urutannya adalah ALIF, BA. JIM, DAL, HA (untuk kata Arab Huwa), WAU, ZA, HA (untuk kata Arab Hayyun), THO, YA, KAF, LAM, MIM, NUN, SIN, ‘AIN, FA’, SHOD, QOF, RO’, SYIN, TA’, TSA’ (untuk kata Arab Tsa-laa-stah), KHO’, DZAL, DHOD, DHLO (untuk kata Arab Dhluhur), GHOIN. Kita mungkin tidak pernah berfikir bahwa kata abjad diambil dari 4 huruf Arab pertama. Setelah mengetahui urutan abjad Arab yang sebenarnya dan hafal akan urutannya, maka pembaca nantinya akan mudah dalam menghafal nilai numerik dari setiap abjad Arab.

Apa itu nilai numerik? Angka yang kita kenal sekarang yaitu (1, 2, 3, dst) sebenarnya dikenal belum lama oleh manusia. Sebelumnya untuk kepentingan perdagangan misalnya orang melakukan penghitungan berdasarkan simbol atau karakter yang merepresentasikan sebuah angka. Dalam sejarah dijumpai beberapa representasi yang berbeda untuk angka-angka atau bilangan dan untuk proses dasar penghitungan. Pada awalnya dijumpai angka-angka yang diucapkan dan angka-angka yang disimbolkan dengan jari tangan (diindikasikan oleh posisi tangan dan jari-jari). Selanjutnya untuk pencatatan secara permanen dan penghitungan diperlukan apa yang disebut sebagai “NUMERAL” yang merupakan sebuah simbol atau karakter yang digunakan untuk mewakili sebuah bilangan. Dalam sistim Romawi kita telah mengenal angka-angka Romawi dan masih sering digunakan pada saat sekarang. Angka 1 dalam sistim Romawi disimbolkan dengan huruf I. Dan juga simbol-simbol Romawi untuk angka-angka lainnya seperti V=5, X=10, L=50, C=100, D=500, dan M=1000. Misalnya untuk menuliskan 164 disimbolkan dengan CLXIV, dan untuk menuliskan tahun 1988 dengan simbol MCMLXXXVIII. Demikian juga untuk huruf-huruf Arab, Yunani, Hebrew dan lainnya juga digunakan sebagai ‘numeral’. Nilai numerik dari setiap huruf Arab dapat dilihat pada table di bawah.

Nilai numerik dari setiap huruf arab (abjad Arab)

Sebagai penutup, penulis memperkenalkan nilai numerik ini adalah dalam rangka untuk bisa mengajak pembaca memahami baik “mathematical miracle” maupun “numerical miracle” dalam Al Qur’an, dan penulis harapkan bahwa sebelum membaca tulisan-tulisan yang berkaitan dengan keajaiban Al Qur’an bersifat matematis, kiranya pembaca memahami benar konsep ini.

Perlu juga dijelaskan di sini bahwa konsep “nilai numerik” TIDAK SAMA dengan “numerologi”. Numerologi sering dikaitkan dengan angka-angka tertentu yang digunakan misalnya untuk meramal seseorang atau meramal kejadian yang akan datang, sementara “nilai numerik” adalah “nilai yang melekat pada simbol atau huruf-huruf” yang tidak ada kaitannya dengan ramal meramal. Beberapa tulisan yang terkait dengan “nilai numerik” pada web site ini tidak ada satupun yang berhubungan dengan masalah ramal meramal, tetapi sepenuhnya merupakan penjelasan tentang keajaiban matematis yang melekat pada Al Qur’an. Jadi sama sekali tidak ada unsur syirik dalam tulisan di website ini.

Wallaahu a’lam bish-shawab.

Rabu, April 01, 2009

Agent of Change of The World


Knowledge Is Power...!!!

Oleh: Ali Mustofa

Jika sahabat adalah seorang guru, pernahkah mengalami kejadian, satu kelas nilainya jelek semua ? Satu kelas akhlaknya tidak ada yang baik, atau satu kelas ribut semua ? Pertanyaannya adalah apakah mungkin itu terjadi karena semua siswa melakukan kesalahan kolosal ? Lalu kemudian kita sibuk menyalahkan, bahwa inilah murid-murid ternakal, Ini akibat sistem yang buruk, atau karena para orang tua tidak mempunyai perhatian.

Saudaraku, sebaik-baik guru adalah guru yang berani menilai dirinya. Yang berani bertanya tentang berbagai kemungkinan pada dirinya, ? mungkin saya mengajar kurang dipahami ? Mungkin saya mengajar kurang persiapan ? Mungkin saya mengajar kurang profesional ? Atau mungkin saya mengajar kurang ikhlas, sehingga tidak bisa meraba dan menyentuh hati mereka ?

Seorang guru yang lebih sibuk mengevaluasi dan memperbaiki diri, maka lambat laun guru inilah yang akan bisa merubah dan memperbaiki murid-muridnya.

Sahabat ketahuilah untuk benar-benar merasa takut kepada Allah, untuk mencapai derajat ma'rifat seseorang tidak harus selamanya berilmu banyak. Karena setiap orang berbeda-beda. Maka tidak usah merasa rendah dari dengan ilmu yang sedikit.

Kalau kita bertanya, apakah mungkin kita yang berilmu sangat sedikit ini akan mencapai derajat ma'rifat ? Jawabannya mengapa tidak. Karena sesungguhnya setiap orang hanya dikaruniai ilmu yang tidak terhingga hanya milik Allah semata.

Orang yang tulus ikhlas dengan ilmunya walau hanya bekerja sebagai guru TK misalnya, ia tidak akan takut disebut bodoh karena ia sadar dan yakin bahwa ilmunya yang sedikit itupun semata-mata karunia dari Allah dan merupakan amanah untuk disampaikan kepada orang lain. Maka ia akan menjadikan ilmu yang sedikit itu sebagai bekal untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Karenanya sangat bergantung orang yang dikaruniai ilmu dan mengajarkannya kepada orang lain dengan tulus ikhlas. Karena justru dengan ketulusan dan keikhlasannya lah suatu ilmu dapat mencahayai baik kepada dirinya maupun kepada orang lain yang diajarinya.

Sahabat, ingatlah ilmu yang tidak diamalkan ibarat pohon yang tidak berbuah. Maka marilah kita menjadikan diri ini berkeinginan untuk dapat menyampaikan ilmu, walaupun sedikit. Dan cara menyampaikannya dengan cara yang terbaik disertai keinginan kuat agar orang lain bisa selamat. Wallahu a'lam