PICTURES SLIDE SHOW

Minggu, Mei 03, 2009

Problematika Pendidikan di Indonesia


PROBLEM DAN TUNTUTAN KUALITAS
PENDIDIKAN DI INDONESIA PASCA REFORMASI
Oleh: Ali Mustofa, S.Pd.I

Sudah 60 tahun Indonesia merdeka, tetapi upaya untuk mencerdaskan kehidupan rakyat seolah-olah jalan di tempat. Di satu pihak, perangkat lunak pendidikan, termasuk sistem pendidikan dan kualitas SDM guru dan pengelola, masih tersangkut kebijakan tambal sulam. Di pihak lain, sarana dan prasarana pendidikan masih jauh dari memadai karena anggaran biaya pendidikan sangat rendah. Akibatnya, tingkat aksesibiltas anak negeri ini terhadap pendidikan yang bermutu sangat rendah. Sementara itu kualitas pembelajaran secara umum tidak kian meningkat karena kesejahteraan guru pun tidak kunjung membaik.

Walhasil, praktek komersialisasi pendidikan, ternyata membudaya. Banyak sekolah yang mulai mematok biaya pendidikan yang tampaknya tak terjangkau oleh banyak kalangan. Bagi yang mampu, sepertinya bukan masalah. Toh, pola pikir orang tua murid yang mampu, “kalau mau berkualitas, tentu makan biaya dong!”. Namun, bagaimana dengan peserta didik yang taraf ekonomi keluarganya masih dibawah standar kesejahteraan? Akhirnya, cerita peserta didik yang mencoba bunuh diri karena alasan tak sanggup membayar SPP atau kebutuhan lainnya menjadi berita yang kerap menghiasi media massa. Belum lagi kabar robohnya bangunan sekolah kian menambah kepiluan dunia pendidikan kita saat ini. Di tambah lagi kasus-kasus lain yang membuat kita mengelus dada seperti misalnya kasus mebel dalam pengadaan sarana meja dan kursi di sebuah sekolah di Kabupaten Malang. Ironis memang!

Terbitnya sinar reformasi di segala bidang pasca-1998 telah ikut menerangi alam pemikiran dunia penididikan di Indonesia yang sebelumnya dalam keremangan. Hal ini dimungkinkan karena pendidikan bukan merupakan entitas yang berdiri sendiri melainkan terkait timbal balik dengan filosofi dan sistem sosial, ekonomi, politik, bahkan hukum dan keamanan. Pendidikan memang merupakan kawasan luar biasa padat dan unsur-unsurnya tak terbilang. Ringkasnya, kerumitan pendidikan mencerminkan kerumitan hidup berbangsa dan bernegara itu sendiri. Maka perubahan apa pun dalam batang-tubuh pendidikan, mengisyaratkan terjadinya perubahan di segala bidang.

Tren globalisasi juga ikut menjadi faktor penting yang mempengaruhi tuntutan reformasi paradigma pendidikan kita. Seperti yang diramalkan oleh Futuris John Naisbitt bahwa abad ke-21 gelombang globalisasi akan memunculkan semangat otonomi lokal terhadap pusat. Dalam konteks nasional, semangat lokal ini pun terwujud pada derasnya tuntutan otonomi di hampir segala sektor, termasuk sektor pendidikan. Tren globalisasi juga melahirkan sebuah gaya hidup baru yang diwarnai oleh semangat persaingan. Gejala ini menuntut masyarakat dan organisasi mau tidak mau mengikuti irama perubahan yang serba cepat. Dengan kata lain, mempertahankan status quo berarti membiarkan diri tertinggal oleh deru perubahan tersebut.
Perubahan yang terjadi di Indonesia, seperti yang disinyalir Anwar Ibrahim, merupakan konsekuensi logis dari perubahan besar yang melanda Asia saat ini. Yaitu pergumulan antara Asia lama yang otokratis melawan Asia baru yang demokratis. Namun, di lain pihak, lahirnya revolusi sosial dan ekonomi, termasuk di Indonesia saat ini, juga merupakan senyawa antara kebebasan politik dan ekonomi, yang justru akan melahirkan Asia Baru.

Pembaharuan pendidikan yang secara legal-formal ditandai oleh revisi UU Sisdiknas No. 2/1989 memang terjadi sebagai konsekuensi logis perubahan sistem politik secara umum. Namun, terlepas dari hal itu, modernisasi di bidang pendidikan adalah suatu upaya jangka panjang dan berkesinambungan. Tidak hanya diperlukan suatu perubahan pada tingkat kebijakan, tetapi juga dukungan SDM yang profesional, serta kelembagaan yang mapan. Itu semua diperlukan guna mencapai tujuan umum pendidikan dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitas hidup setiap individu manusia Indonesia, tanpa diskriminasi. Oleh karena itu, reformasi pendidikan sudah semestinya diarahkan kepada perubahan yang bermakna dan terencana dalam bidang pendidikan dengan mengikis habis berbagai kekurangan yang ada, serta memperkenalkan berbagai nilai dan sikap bermutu secara utuh dan terpadu. Namun ada tiga hal yang perlu dijadikan landasan reformasi pendidikan. Yaitu, mengejar ketertinggalan di bidang ilmu pengetahuan, mengedepankan sikap mandiri, serta membudayakan sikap tunduk pada hukum yang berlaku. Hal inilah yang mula-mula dilakukan di Jepang, menyusul pengeboman Nagasaki dan Hiroshima, sehingga pasca tragedi itu, mereka mampu tampil sebagai bangsa yang terhormat dalam panggung sejarah manusia dunia.

Dalam konteks kemandirian, bangsa Indonesia telah cukup lama melewati sebuah perjuangan fisik untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Proklamasi kemerdekaan 1945 merupakan simbol kemandirian bangsa secara fisik. Namun, bangsa ini masih belum sepenuhnya mandiri secara lahir dan batin. Kita masih tergantung kepada modal asing untuk menggerakkan roda pembangunan di hampir segala bidang. Kini, kita tengah berjuang melawan keterjajahan nonfisik berupa kebodohan, keterbelakangan, dan rendahnya kualitas SDM bangsa. Pendidikan merupakan investasi jangka panjang untuk mempersiapkan tenaga-tenaga handal yang berdiri di baris terdepan perjuangan fase kedua ini.

Keterbelakangan bangsa Indonesia di bidang pendidikan bukan rahasia lagi. Seperti juga, negara-negara lain yang berpopulasi Muslim, Indonesia memiliki kualitas SDM yang rendah. Untuk kasus Indonesia, banyak disinyalir bahwa penyebabnya adalah pemerintah selama ini tidak pernah menempatkan sektor pendidikan sebagai prioritas terpenting. Naumn, seperti dikatakan Profesor Toshiko Kinosita, ini bukan kesalahan pemerintah saja, mmelainkan cerminan dari sikap dan orientasi masyarakat pada umumnya. Orang awam, politisi, hingga pejabat pemerintah semuanya berlomba-lomba mengejar uang, memperkaya diri, dan enggan berpikir panjang.

Jika diukur dari sisi material, indikator prioritas 20 persen dari APBN atau APBD yang disetujui oleh MPR, seharusnya menjadi awal kesadaran pemerintah beserta praktisi pendidikan terhadap pentingnya pendidikan sebagai investasi jangka panjang untuk mengangkat keterpurukan SDM. Setidaknya satu alasan yang mendukung pendidikan dari tinjauan kalkulasi ekonomi ini. Yaitu bahwa, pendidikan adalah bukan sekedar alat pertumbuhan ekonomi, melainkan sebagai tahap perintis bagi perkembangan ekonomi. Mengapa demikian?.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar