PICTURES SLIDE SHOW

Jumat, April 10, 2009

THE VIEWS OF ORIENTALISTS ON THE HADITH LETERATURE

THE VIEWS OF ORIENTALISTS ON THE HADITH LETERATURE
Oleh: Ali Mustofa, S.Pd.I*
  1. PENDAHULUAN

Orientalisme pada awalnya adalah salah satu kajian keilmuan yang tergabung di dalam ilmu Antropologi, memiliki tujuan yang sama dengan ilmu induknya tersebut yaitu untuk mempelajari kebudayaan lain agar bisa menemukan kebudayaan terbaik yang bisa dijadikan kebudayaan pilot project bagi seluruh dunia.

Namun pada perkembangan lebih lanjut, antropologi kemudian berubah menjadi sebuah kajian keilmuan dari sebuah bangsa Eshtablished terhadap kebudayaan yang outsiders. Karena massyarakat merasa mereka lebih berbudaya daripada masyarakat oriental (timur), baik itu timur jauh, timur tengah, timur selatan. Meliputi semua hal budaya, adat, norma dan juga agama-agama masyarakat timur.

Aktivitas orientalisme dalam memurtadkan ummat dari aqidahnya adalah dengan memisahkan ummat dari al-Qur`an dan as-Sunnah. Tahap pertama yang mereka lakukan adalah berusaha mementahkan sunnah dan hadis-hadis Rasulullah SAW. yang kemudian mengarahkan pada interpretasi Qur`an bukan berdasarkan sunnah, tapi logika saja. Proyek ini sebenarnya bukan hal yang baru dalam tantangan ummat Islam.

  1. PEMBAHASAN

1. Pengertian

Kata hadis mula-mula berarti suatu pemberian kabar (a communication) atau berita (narrative) pada umumnya, baik yang bersifat agama maupun duniawi, kemudian mempunyai arti yang khusus, yaitu kumpulan perbuatan dan kata-kata Nabi SAW dan sahabat-sahabatnya. Dalam arti terakhir ini seluruh materi riwayat (hadis) yang suci kaum muslimin disebut “hadis”, maka pengetahuan ytentang hadis disebut Ulum al-Hadis.1

Orientalisme adalah studi Islam yang dilakukan oleh orang-orang Barat. Kritikus orientalisme bernama Edward W Said menyatakan bahwa orientalisme adalah suatu cara untuk memahami dunia Timur berdasarkan tempatnya yang khusus dalam pengalaman manusia Barat Eropa.2

Secara bahasa orientalisme berasal dari kata orient yang artinya timur. Secara etnologis orientalisme bermakna bangsa-bangsa di Timur, dan secara geografis bermakna hal-hal yang bersifat timur, yang sangat luas ruang lingkupnya. Orang yang menekuni dunia ketimuran ini disebut orientalis. Menurut Grand Lorousse Encyclopedique seperti dikutip Amin Rais3, orientalis adalah sarjana yang menguasai masalah-masalah ketimuran, bahasa-bahasanya, kesusastraannya, dan sebagainya. Karena itu orrentalisme dapat dikatakan merupakan semacam prinsip-prinsip tertentu yang menjadi ideologi ilmiah kaum orientalis.

Kata isme menunjukkan pengertian tentang suatu faham. Jadi orientalisme bermakna suatu faham atau aliran yang berkeinginan menyelidiki hal-hal yang berkaitan dengan bangsa-bangsa di timur beserta lingkungannya.

2. Persepsi Orientalis Terhadap Hadis

Orientalisme yang pada awalnya adalah salah satu kajian keilmuan yang tergabung di dalam ilmu Antropologi, memilki tujuan yang sama dengan ilmu induknya tersebut yaitu untuk mempelajari kebudayaan lain agar bisa menemukan kebudayaan terbaik yang bisa dijadikan kebudayaan pilot project bagi seluruh dunia.

Namun pada perkembangan lebih lanjut, antropologi kemudian berubah menjadi sebuah kajian keilmuan dari sebuah bangsa Eshtablishedterhadap kebudayaan yang outsiders. Karena masyarakat merasa mereka lebih berbudaya daripada masyarakat oriental (timur), baik itu timur jauh, timur tengah, dan timur selatan. Meliputi semua hal budaya, adat, norma dan juga agama-agama masyarakat timur.

Di dalam salah satu bukunya, Orientalism, Edward Said mengatakan bahwa kegiatan yang dilakukan oleh para orientalis dalam meneliti agama Islam, khususnya hadis, bukanlah pekerjaan yang non profit oriented, artinya mereka memilki tujuan tertentu dengan meneliti agama Islam sedemikian rupa. Tujuan itu anatara lain adalah mencari kelemahan Islam dan kemudian mencoba menghancurtkannya pelan-pelan dari dalam. Walaupun tidak semua orientalis memilki tujuan seperti itu paling tidak itu sangat kecil. Hal inilah yang menjadi alasan bagi Hasan Hanafi cs untuk membalas perlakuan mereka denga giliran balik menyerang kebuadayaan Barat denga cara mempelajarinya dan kemudian juga dengan cara yang sistematis mencoba menggerogotinya dari dalam.3

Mereka memilih hadis dalam upayanya menyerang umat Islam karena kedudukan hadis yang sangat penting dalam kehidupan kaum muslim. Hadis adalah sumber hukum kedua setelah al-Qur`an sekaligus juga sebagai penjelas dari al-Qur`an, karena hadis hanyalah perkataan manusia yang bisa saja mengandung kesalahan dan unsur-unsur negatif lainnya. Mereka sulit untuk mencoba mendistorsikan al-Qur`an karena al-Qur`an adalah sumber transendental dari tuhan yang telah terjamin dari semua unsur negatif.

Ada tiga hal yang sering dikemukakan orientalis dalam penelitian mereka terhadap al-Hadis, yaitu tentang perawi hadis, kepribadian Nabi Muhammad SAW, metode pengklasifikasian hadis:

1. Aspek Perawi Hadis

Para orientalis sering mempertanyakan tentang para perawi yang banyak meriwayatkan hadis dari Rasulullah, seperti yang kita ketahui bersama para sahabat yang terkenal sabagai perawi bukanlah para sahabat yang banyak menghabiskan waktunya bersama rasulullah seperti Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali. Namun yang banyak meriwayatkan hadis adalah sahabat-sahabat junior dalam artian karena mereka adalah orang”baru” dalam kehidupan Rasulullah. Dalam daftar sahabat yang banyak meriwayatkan hadis tempat teratas diduduki oleh sahabat yang hanya paling lama 10 tahun berkumpul dengan Nabi, seperti Abu Hurairah, Sayyidah Aisyah, Anas bin Malik, Abdullah ibn Umar dll. Abu Hurairah selama masa 3 tahun dia berkumpul dengan Nabi telah berhasil meriwayatkan lebih dari 5800 hadis, Sayyidah Aisyah mengumpulkan lebih dari 3000 hadis dan demikian juga dengan Abdullah ibn Umar, dan Anas.

2. Aspek Kepribadian Nabi Muhammad SAW

Tidak cukup dengan menyerang para perawi hadis, kepribadian Nabi Muhammad juga perlu dipertanyakan. Mereka membagi status nabi menjadi tiga; sebagai rasul, kepala negara, dan pribadi biasa sebagaimana orang kebanyakan. Bahawa selama ini hadis dikenal sebagai segala sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad baik perbuatan, perkataan dan ketetapan beliau juga perlu direkonstruksi ulang. Sesuatu yang berdasarkan dari Nabi baru disebut hadis jika sesuatu tersebut berkaitan dengan hal-hal praktis keagamaan, karena jika tidak, hal itu tidak layak untuk disebut dengan hadis, karena bisa saja hal itu hanya timbul dari status lain seorang Muhammad.

3. Aspek Pengklasifikasian Hadis

Sejarah penulisan hadis juga tidak lepas dari kritikan mereka. Penulisan hadis yang baru dilakukan beberapa dekade setelah Nabi Muhammad wafat juga perlu mendapat perhatian khusus. Hal itu, lanjut mereka, membuka peluang terhadap kesalahan dalam penyampaian hadis secara verbal, sebagaimana yang dikatakan oleh montgomerywatt, salah seorang orientalis ternama saat ini:

“semua perkataan dan perbuatan Muhammad tidak pernah terdokumentasikan dalam bentuk tulisan semasa Ia hidup atau sepeninggalnya, pastinya hal tersebut disampaikan secara lisan ke lisan, setidak-tidaknya pada awal mulanya. Hal itu diakui ataupun tidak sedikit banyak akan mengakibatkan distorsi makna, seperti halnya dalam permainan telpon-telponan anak kecil”.

Hal diatas adalah sebagian dari pemikiran orientaslis tentang Islam, lebih spesifik lagi tentang hadis. Hal itu sedikit banyak bisa memberikan pemhaman dan wacana baru agar kita bisa melihat hadis, sesuatu hal berharga yang kita punyai tidak hanya dengan pandangan dan penilaian kita tapi juga dengan sisi pandang orang lain, yang boleh jadi akan lebih akan lebih objektif dari kita. Kita harus berterima kasih kepada mereka karena telah meneliti kehidupan kita, sehingga kita bisa mengambil hasil penelitian mereka sebagai bahan koreksi dan pembelajaran bersama, terlepas dari niat-niat buruk dari sebagian mereka.

3. Hadis dan Orientalis

Sarjana barat yang pertama kali melakukan kajian hadis adalah Ignaz Goldziher, seorang orientalis Yahudi kelahiran Hongaria yang hidup antara tahun 1850-1921 M. Pada tahun 1890, ia mempublikasikan hasil penelitiannya tentang hadis dalam sebuah buku yang berjudul Muhammedanische Studien (Studi Islam). Dan sejak saat itu hingga sekarang, buku tersebut menjadi “kitab suci” di kalangan orientalis.

Dibanding dengan Goldziher, hasil penelitian Schacht memiliki “keunggulan”, karena ia bisa sampai pada kesimpulan yang menyakinkan bahwa tidak ada satupun hadis yang otentik dari Nabi Muhammad, khususnya hadis-hadis yang berkaitan dengan hukum-hukum Islam. Sementara Goldziher hanya sampai pada kesimpulan yang meragukan adanya otentisitas hadis. tidak aneh jika kemudian buku Schacht memperoleh reputasi dan sambutan yang luaar biasa.4

Baik Ignaz maupun Schacht, keduanya tidak berbicara tentang otoritas hadis sebagai sumber hukum dalam Islam. Karena keduanya telah sepakat bahwa hadis tidak memiliki otentitas sebagai sebuah ajaran yang bersumber dari Nabi Muhammad, padahal hadis dapat menjadi sumber ajaran Islam, ketika ia otentik dari Nabi, sehingga tidak mungkin hadis dapat digunakan sabagai sumber ajaran Islam.

Keduanya justru membuat kita-kiat yang dapat dipergunakan sebagai pendukung hasil penelitian mereka; bahwa apa yang disebut sebagai hadis, bukanlah sesuatu yang otentik dari Nabi Muhammad. Setidaknya ada tiga kiat-kiat yang digunakan guna menyokong pendapat mereka:

a. Mereka mendistorsi teks-teks sejarah. Semisal tuduhan goldziher terhadap Imam ibn Syihab al-Zuhri (w. 123 H). Menurutnya Imam al-Zuhri telah melakukan pemalsuan hadis, dan ia juga mengubah teks-teks sejarah yang berkaitan dengan Ibn Syihab al-Zuhri, sehingga menimbulkan kesan bahwa Imam al-Zuhri memang mengakui dirinya sebagai pemalsu hadis.

Menurut Goldziher , al-Zuhri pernah berkata, inna haula al-umara akrahuna `ala kitabah ahadis (para penguasa itu memaksa kami untuk menulis hadis). Kata ‘ahadis’ dalam kutipan Goldziher tidak menggunakan artikel “al” (al-Ahadis) yang dalam bahasa Arab memiliki makna definitif (ma`rifah), sementara dalam teks yang asli, yang merupakan ucapan Imam ibn Syihab yang sebenarnya, seperti yang terdapat dalam kitabIbn Sa`ad dan Ibn `Asakir, adalah ‘al-Ahadis’ yang berarti hadis-hadis yang telah dimaklumi secara definitif, yaitu hadis-hadis yang berasal dari Nabi Muhammad.5

b. Membuat teori-teori rekayasa. Bahwa untuk memperkuat tuduhannya yang menyatakan bahwa apa yang disebut hadis adalah bukan sesuatu yang otentik dari Nabi Muhammad, melainkan hanya merupakan bikinan para ulama abad pertama dan kedua, Schacht membuat teori tentang ‘rekonstruksi’ terjadinya sanad hadis. Teori ini dikemudian haridikenal sebagai teori Projecting Back (proyeksi ke belakang).

Menurut Schacht, jurisprudensi Islam belum eksis dan permanen pada masa al-Sya`by (w. 110 H.). Hal ini artinya bahwa apabila terdapat hadis-hadis yang berkaitan dengan hukum Islam, maka sejatinya hadis-hadis tersebut merupakan buatan orang-orang yang lahir dan hidup sesudah al-Sya`by. Schacht berpendapat bahwa jurisprudensi Islam baru dikenal sejak masa pengangkatan para qadhi (hakim agama), yang baru diadakan pada dinasti bani Umayah.

c. Ketiga melecehkan ulama hadis, dimana kiat para orientalis selanjutnya adalah melecehkan kredibilitas ulama hadis, sembari menuduh mereka sebagai pemalsu. Banyak ulama yang mereka sorot dan menjadi sasaran pelecehan ini, anatara lain sahabat Abu Hurairah (w. 57 H.), Imam ibn Syihab al-Zuhri (w. 123 H.), dan Imam Muhammad ibn Ismail al-Bukhari (w. 256 H.).

Tiga tokoh tersebut menjadi sasaran pokok serangan para orientalis karena ketiganya menempati posisi-posisi yang strategis dalam kajian ilmu hadis; Abu Hurairah adalah sahabat yang tercatat sebagai sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadis dari Nabi Muhammad. Dan al-Zuhri disebut-sebut sebagai orang yang pertama kali membukukan hadis. Sementara al-Bukhari adalah tokoh yang menulis kitab paling otentik sesudah al-Qur`an, yaitu kitab Shahih al-Bukhari.

4. Kritik Hadis Versi Orientalis

Kalau ada diantara orientalis yang pernah berusaha menciptakan metode kritik hadis, maka sudah bisa dipastikan arajnya, yaitu untuk menjegal metodologi yang selama ini ada. Dengan demikian akan terjadi perubahan besar dalam hukum-hukum Islam akibat dari berubahnya hadis shahih menjadi maudhu` atau yang maudhu` manjadi shahih.

Dan akibat yang ditimbulkan sudah bisa kita bayangkan juga. Nantinya syariah Islam akan berubah 180% derajat. Sesuatu yang haram bisa jadi halal dan yang halal bisa jadi haram. Bhakan zina, khamar, judi, mut`ah, mencuri dan segala kemungkaran menjadi halal. Dan sebaliknya, jihad, qishas, hudud dan menegakkan hukum Islam menjadi terlarang. Karena hadisnya telah berubah status. Dan perubahan itu ditentukan oleh para orientalis.

C. PENUTUP

1. Kesimpulan

Kendati orang-orang barat sudah lama mempelajari kajian-kajian keislaman secara umum, nampaknya baru pada masa-masa belakangan ini, mengarahkan kajiannya secara khusus terhadap hadis dan ilmu hadis.

Para orientalis barat itu walaupun ada satu dua yang niatnya baik dan jujur, namun umumnya adalah orang-orang yang punya niat tidak baik terhadap ajaran Islam. Kalaupun niatnya baik, tapi karena mereka tidak mengenal ajaran Islam dengan benar sesuai dengan ajaran Rasulullah SAW, makabaik metode maupun kesimpulan akhirnya selalu melenceng jauh dari objektifitas.

FOOTNOTES

1. Hanafi, A, “Orientalisme Ditinjau Menurut Kaca Mata Agama” Jakarta Pustaka al-Husna, 1981

2. Edward W Said, Orientalisme, Terj. Asep Hikmat, Bandung: Pustaka Salman, 1996

3. M. Amin Rais, Cakrawala Islam, Bandung : Mizan, 1986

4. M. M. Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, Jakarta : PT. Pustaka Firdaus, 1994

5. Mustafa al-Siba`i, al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri` al-Islami, Beirut, 1978, hal. 15

6. Diambil dari www.sukmanila.multiply.com

7. Diambil dari www.ikhwaninteraktif.com


* Penulis adalah mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Malang

Konsentrasi Pendidikan Islam.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar