PICTURES SLIDE SHOW

Jumat, April 10, 2009

TURKI USMANI EMPIRE

TURKI USMANI : PERKEMBANGAN POLITIK DAN PERADABAN ISLAM

Oleh: Ali Mustofa, S.Pd.I*

  1. Pendahuluan

Dalam sejarah Islam, Khalifah-Sultan dari Konstantinopel menjadi raja yang paling kuat, ysng mewarisi tidak hanya kekhalifahan Baghdad, tetapi juga kekaisaran Bizantium. Dengan hancurnya kekuatan Mamluk, dan berkembangnya kekuasaan bangsa Turki di Bosporus, maka fokus kekuatan Islam diarahkan ke Barat. Kenyataannya, pada saat itu pusat peradaban dunia telah berpindah ke Barat. Penemuan Amerika dan Tanjung Harapan telah mengalihkan perdagangan dunia ke rute-rute baru, dan seluruh kawasan Mediterania Timur mulai tenggelam di balik tirai sejarah. Di sini, sejarah kekhalifahan Arab dan dinasti-dinasti muslim yang didirikan pada Abad Pertengahan di atas reruntuhan kerajaan Arab telah sampai pada titik akhir, dan sejarah modern kerajaan-kekhalifahan Usmani dimulai.¹

B. Pembahasan

Kemunculan Dinasti Turki Usmani

Sejumlah migrasi yang mengantarkan pada berdirinya rezim Saljuk, Mongol, dan Tumuriyah di Iran juga mengantarkan pada lahirnya sebuah imperium Muslim yang besar di wilayah barat. Pada akhir abad sebelas, masyarakat Turki mulai menaklukkan beberapa negeri yang sebelumnya bukan bagian dari negeri Muslim. Bermula dari migrasi tersebut lahirlah negara Saljuk di Anatolia dan kemudian disusul dengan lahirnya imperium Usmani di Anatolia dan Balkan. Imperium Usmani telah menyerap sejumlah negeri Muslim di Timur Tengah dan Afrika Utara.

Imperium Usmani mewarisi pola masyarakat Saljuk-Iran dan ia memberinya sebuah corak inovatif. Imperium Usmani menjadikan negara sebagai institusi yang dominan, dan menjadikan kalangan elite keagamaan, warga nomadik Turki di Anatolia, dan seluruh rakyat berada di bawah kekuasaan negara. Pengembangan bentuk varian masyarakat Islam yang memusat ini berlangsung di tengah sebuah periode sejarah yang kompleks yang terbagi dalam beberapa fase: fase migrasi Turki dan pembentukan rezim Turki-Saljuk di Anatolia antara tahun 1071 dan 1234; fase penaklukkan Turki terhadap imperium Bizantium dan pembentukan sistem Usmani antara tahun 1280 sampai 1574; dan fase transformasi dan desentralisasi imperium Usmani pada abad tujuhbelas dan delapanbelas.²

Ketika Usmani menaklukkan Konstantinopel (yang kini dikenal sebagai Istanbul) pada tahun 1453, mereka telah berada pada posisi siap membangun sebuah kerajaan, karena negeri tersebut mampu berkembang setahap demi setahap, dan mempunyai dasar yang lebih kuat dibandingkan kerajaan lain dan akan menjadi kerajaan paling berhasil dan tahan lama. Para sultan membentuk monarki absolut, mirip dengan model Bizantium yang melihat kekuasaan pusat sebagai pasukan besar pelayan pribadi sultan. Kekuatan Muhammad (Keturunan Dinasti Usmani) sang Penakluk didasarkan pada dukungan bangsawan Balkan, yang kebanyakan sudah masuk Islam dan infantri “pasukan baru” (yeni-cheri) yang semakin penting posisinya sejak ditemukan bubuk mesiu. Para Janissari, sebagai budak yang sudah masuk Islam, adalah orang luar yang tidak mempunyai kepentingan di negara tersebut, selanjutnya menjadi kekuatan independen di belakang sultan. Usmani juga memegang etos cita-cita lama mereka, memandang diri sendiri sebagai penjaga negara perbatasan, dan menjadikan jihad untuk melawan musuh-musuh Islam.² Di sebelah barat mereka menghadapi kerajaan Kristen dan di sebelah timur menghadapi Safawi Syi`ah. Usmani menjadi kelompok yang sama bahayanya dengan Syafawi dan juga terjadi pembataian kaum Syi`ah yang hidup di wilayah Usmani.³

Ekspansi Turki Usmani ke Arab dan Afrika Utara

Untuk sekitar dua pertiga abad setelah didirikan di Anatolia pada 1300 dengan mengorbankan kekaisaran Bizantium, dan didirikan di atas reruntuhan kerajaan Saljuk, kerajaan Turki Usmani hanyalah sebuah emirat di daerah perbatasan.

Negara ini selalu diliputi suasana peperangan dan pada saat itu senantiasa dalam keadaan genting. Ibukota negara ini, pertama kali didirikan pada 1326, adalah Brusa (Bursa). Mendekati 1366, emirat itu telah berkembang lebih stabil, mendapatkan pijakan yang lebih kokoh di daratan Eropa, dan berkembang menjadi sebuah kerajaan besar dengan Adrianopel (Edirna) sebagai ibukotanya. Penaklukkan pada 1453 oleh Muhammad II, Sang Penakluk (1451 – 1481) secara formal mengantarkan negara ini pada satu era baru yaitu era kerajaan.

Raksasa baru ini berdiri mengangkang di Bosporus, satu kakinya di Asia dan kaki lainnya di Eropa. Perluasan wilayah yang is lakukan menjadikannya tidak hanya pewaris kekaisaran Bizantium, tetapi juga – berkat hancurnya kekuatan Mamluk- mewarisi kekhalifahan Arab. Pewarisan tanah dari Timur dan Brat ini diimbangi dengan pewarisan berbagai pemikiran, dan gabungan dari berbagai peninggalan itu bisa jadi merupakan fakta yang paling nyata dalam sejarah Turki Usmani. 4

Sebagian besar penaklukkan wilayah Afrika Utara dicapai selama masa kekuasaan Sulayman I (1520-1566), seorang anak Penakluk Suriah-Mesir dan orang yang beridiri di balik puncak kejayaan kerajaan Usmani. Pada masa pemerintahannya, sebagian besar wilayah Hongaria ditaklukkan. Wina tunduk, dan Rhodesdapat diduduki. Kekuatan Usmani terus melebarkan sayapnya dari Budapes di Danube ke Bahdad di Tigris, dan dari Crimea hingga air terjun pertama sungai Nil. Tidak kurang dari tiga puluh enam sultan – semuanya laki-laki dari garis keturunan Usman – berkuasa dari 1300 hingga 1922. 5

Puncak Kegemilangan Turki Usmani dan Peradaban Islam

Kerajaan ini mencapai puncaknya pada masa Sulaiman al-Qanuni (“Sang Pemberi Keputusan”) (1520-1566), yang di Barat dikenal sebagai Sulaiman si Cemerlang. Dibawah pemerintahannya, kerajaan ini mencapai batas ekspansinya, dan Istanbul menikmati kebangkitan budaya, yang terutama ditandai oleh arsitektur yang sangat indah, dan yang paling terkenal adalah arsitek istana Sinan Pasya (w. 1578). Masjid-masjid Usmani yang tersebar di seluruh negeri mempunyai persamaan gaya yang khusus: ruangan ysng luas, terang benderang, kubahnya rendah, dan menara yang tinggi. Istana juga melindungi kemajuan lukisan, sejarah, dan ilmu kedokteran sampai tingkat tertinggi, membangun observatori pada tahun 1579, dan tergugah oleh penemuan-penemuan baru Eropa di bidang navigasi dan geografi. Arus informasi dari Barat sangat deras selama tahun-tahun ekspansif kerajaan, di samping prestasi-prestasi yang diraih Eropa, negara Usmani adalah kekuatan terbesar di dunia.

Usmani juga memberi orientasi khusus pada Islam untuk negara mereka. Di bawah Sulaiman, syariah mendapatkan ststus tertinggi dibandingkan negara Muslim sebelumnya. Syariah menjadi hukum resmi bagi semua Muslim di seluruh negeri itu, dan Usmani jugalah yang pertama kali memberi bentuk umum pengadilan syariah. Ahli-ahli hukum (qadi) menyelenggarakan hukum di pengadilan, dan konsultan mereka (mufti), yang menginterpretasikan hukum, dan para guru di madrasah-madrasah diangkat sebagai pejabat pemerintahan, membuat hubungan moral dan religius antara sultan dan rakyatnya. Kebijakan seperti ini sangat berharga di propinsi-propinsi Arab. .6

Setelah berakhirnya pemerintahan Sulaiman, kurikulum madrasah semakin sempit: studi filsafat dikurangi sangat drastis dan kini dikonsentrasikan pada fiqh. Kedudukan Islam di kesultanan Usmani adalah komunalis dan sektarian. Umat Islam merasa sebagai pemenang ortodoksi melawan orang kafir yang menekan dari segala arah. Ulama, bahkan kaum sufi, menyerap etos ini dan ketika kerajaan untuk pertama kalinya menunjukkan tanda kemunduran, kecenderungan ini semakin besar. Jika istana tetap terbuka terhadap ide-ide baru dari Eropa, madrasah-madrasah menjadi pusat oposisi terhadap semua eksperimen yang berasal dari orang kafir Eropa.

Pada abad ke-16, Sulaiman telah memberi kekebalan diplomatik kepada para pedagang Eropa. Traktat itu dikenal sebagai Kapitulasi (karena disusun dengan capita: bagian atas) yang berarti bahwa para padagang Eropa yang hidup di wilayah Usmani tidak terikat oleh hukum setempat; pelanggaran-pelanggaran mereka akan diadili dengan hukum pengadilan mereka sendiri yang dikepalai oleh konsul-konsul mereka sendiri. Sulaiman telah menegosiasikan traktat itu dengan bangsa-bangsa Eropa dengan menganut status kesejajaran. Tetapi pada abad ke-18, tampak jelas bahwa kapitulasi-kapitulasi tersebut memperlemah kedaulatan Usmani, terutama ketika traktat tersebut diperluas pada tahun 1740 untuk orang Kristen di kerajaan tersebut, yang kini “dilindungi” seperti orang-orang Eropa lain, dan tidak lagi menjadi pihak yang berada di bawah kekuasaan pemerintah Usmani.7

Di jazirah Arabia, Muhammad ibnu Abdul Wahhab (1703-1792) berhasil memisahkan diri dari Istanbul dan mendirikan negara di Arab Tengah dan Teluk Persia. Dia adalah pembaharu khas dalam tradisi Ibnu Taimiyah. Dia yakin bahwa krisis yang terjadi sebaiknya diatasi dengan kembali kepada al-Qur`an dan sunnah, serta dengan menolak semua ajaran penyerta, etrmasuk fiqih zaman pertengahan, tasawuf, dan filsafat, yang kebanyakan orang-orang Islam menganggap sebagi aturan normatif. Karena sultan Usmani tidak menyamakan pandangan dengan Islam yang murni, Abdul Wahhab menganggap semua sultan adalah orang yang inkar dan layak untuk mati. Tekniknya yang agresif itu akan digunakan oleh beberapa kaum fundamentalis pada abad ke-20, periode yang di dalamnya terdapat lebih banyak perubahan dan kekerasan. Wahhabisme adalah bentuk Islam yang masih dipraktekkan sampai saat ini di Arab Saudi, agama puritan berdasarkan interpretasi harfiah murni kitab suci dan tradisi Islam pada masa-masa awal.

C. Kesimpulan

Sampai abad ke-18, Kesultanan Usmani berada pada kondisi kritis. Perdagangan semakin terpuruk; suku-suku Badui di propinsi-propinsi Arab dan para Pasya lokal tidak bisa dikendalikan oleh Istanbul; yang seringkali meng-korupsi dan mengeksploitasi penduduk, disiplin militer melemah, kesulitan ekonomi menyebabkan korupsi dan penggelapan pajak. Warga kelas atas hidup dalam kemewahan walaupun pendapatan menurun; dan perdagangan menurun sebagai akibat semakin tajamnya kompetisi di Eropa dan gubernur cenderung mengisi kantongnya sendiri. Sedang Barat memperoleh kemenangan demi kemenangan. Tetapi Usmani tidak terlalu khawatir. Sultan Salim III mengambil teladan dari Eropa, dengan mengasumsikan bahwa reformasi tentara di perbatasan dengan Barat akan mengembalikan keseimbangan kekuatan. Pada tahun 1789, dia membuka sejumlah sekolah militer dengan instruktur dari Perancis.di situ, murid-murid belajar bahasa Eropa danilmu pengetahuan baru Barat bersamaan dengan pelajaran seni bela diri modern. Tetapi ini pun tidak cukup untuk menangkis ancaman Barat. Umat Islam menyadari bahwa Eropa telah menyusun bentuk masyarakat yang sama sekali baru sejak Kesultanan Usmani berdiri, bahwa mereka telah menanamkan pengaruh pada dunia Islam dan dalam waktu dekat akan mencapai posisi kekuatan dunia.

Kondisi buruk pada akhir abad ke-18, bukan disebabkan oleh ketidakmampuan atau fatalisme Islam seperti yang sering diasumsikan orang-orang Eropa yang arogan. Setiap negara agraris mempunyai ketrbatasan harapan hidup, dan negara-negara muslim ini, yang mewakili cita-cita terakhir negara agraria, sudah sampai pada usia alaminya. Pada periode pra-modern, kerajaan-kerajaan Barat dan Kristen juga mengalami keruntuhan dan kemunduran. Negara-negara Islam juga pernah jatuh sebelumnya. Dalam tiap masa sulit itu, umat Islam berhasil bangkit dari puing-puing, dan bangkit lagi dengan prestasi yang lebih besar. Tetapi ini lain. Kelemahan Muslim pada abad ke-18 bersamaan dengan kebangkitan bentuk peradaban Barat yang sama sekali berbeda dan saat itu dunia Muslim akan menyadari kesulitan dalam mengahadapi tantangan tersebut.8

Catatan Kaki

1. Hitti, Philip K. History Of The Arabs; From the Earliest Times to the Present, Terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi. (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta,2006) 902

2. Lapidus, Ira M. A History of Islamic Societies: Sejarah Sosial umat Islam, bagian satu & dua. Terj. Gufron. A. Mas`adi.(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), 468.

3. Amstrong, Karen. Islam: A Short History: Sepintas Sejarah Islam, Terj. Ira Puspito Rini. (Yogyakarta: Ikon Teralitera, 2002) 153

4. Hitti, Philip K. History Of The Arabs; From the Earliest Times to the Present, Terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi. (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta,2006) 906

5. Ibid., hal, 910

6. Amstrong, Karen. Islam: A Short History: Sepintas Sejarah Islam, Terj. Ira Puspito Rini. (Yogyakarta: Ikon Teralitera, 2002) 158

7. Ibid., hal, 161

8. Ibid., hal, 162

*. Penulis adalah mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Malang Konsentrasi Pendidikan Islam



Tidak ada komentar:

Posting Komentar