PICTURES SLIDE SHOW

Selasa, April 14, 2009

WAJAH PEMILU KITA

Kepada Siapa Rakyat Berharap?

Oleh: Ali Mustofa, S.Pd.I*

Senin: 13 April 2009

Jangan ditanya wibawa anggota legislatif saat ini. Berbagai isu - dikatakan isu karena sejauh ini belum ada penyelidikan tuntas - terus menerpa anggota DPR, DPRD hingga pejabat pemerintah. Dari mulai isu suap hutan lindung, pembahasan undang-undang maupun peraturan daerah hingga kasus korupsi pejabat pemerintah.

Publik tidak lagi memerlukan bukti-bukti apakah isu tersebut benar atau tidak. Bagi publik, isu suap dan korupsi di legislatif sudah menjadi rahasia umum. Rakyat merasakan betapa kehidupan para anggota legislatif berubah drastis selama beberapa tahun terakhir. Dari yang semula mengendarai sepeda motor atau mobil sederhana, menjadi kaya raya. Rakyat juga tak lagi peduli apakah kekayaan anggota legislatif tersebut diperoleh melalui cara-cara halal dan tidak melanggar hukum.

Pemilu legislatif baru saja usai, banyak kalangan yang meragukan kinerja para anggota caleg untuk menjadi wakil rakyat di perlemen nanti karena banyak dari para caleg yang tidak mengetahui urusan pemerintahan apalagi dunia politik. Tidak heran belakangan ini ada celotehan dari sebagian anggota masyarakat: untuk menjadi kaya, tidak perlu menjadi pengusaha, cukup menjadi anggota DPRD atau DPR. Bahkan yang lebih merisaukan adalah ada anggapan bahwa ingin menjadi anggota legislatif karena tidak mempunyai pekerjaan tetap. Ada juga yang menyatakan korupsi dalam lima tahun terakhir ini melebihi 32 tahun rezim Orde Baru berkuasa. Korupsi sekarang ini sangat terang-terangan dan merata.

Meski tidak mudah membuang kotoran yang kini melekat di wajah DPR/DPRD dan pejabat pemerintah, bukan berarti tidak ada jalan untuk membersihkannya. Dalam beberapa kasus suap dan korupsi setidaknya ada dua mekanisme yang bisa ditempuh. Pertama, kepemimpinan yang kuat. Itulah persoalan utama republik ini, bukan ekonomi atau politik. Kepemimpinan seperti ini, yang yakin akan dirinya dan tahu apa yang dilakukannya, mampu mengarahkan program-program pemerintahnya untuk mengatasi krisis yang masih terus merundung.

Kepemimpinan yang demikian tidak akan gentar menghadapi tantangan yang pasti menghadangnya. Pertanyaannya tentu adalah, apakah kelompok orang yang sekarang duduk di tampuk kekuasaan republik ini sudah merupakan atau menunjukkan kepemimpinan yang kokoh? Satu hal pasti, para pemegang kekuasaan di pucuk negeri ini adalah pemimpin yang membawahkan seluruh rakyat, bukan lagi sekedar pemimpin dan anggota partai tertentu.

Jadi, mereka berdiri di atas seluruh partai, bukan lagi bagian dari partainya sendiri. Ini, seperti kata Habibie, demi objektivitas kepemimpinannya. Keterikatan yang terus berlangsung antara seorang pejabat negara dan partainya akan mudah sekali menimbulkan desas-desus bahwa partainya, bagaimana pun, akan mendapat pengistimewaan dalam berbagai hal. Itu jelas tidak sehat.

Di sisi lain, akan muncul kesan bahwa pelepasan jabatan dalam partai dapat mengakibatkan pejabat itu merasa kehilangan dukungan dari orang-orang partainya. Pejabat yang kurang percaya diri bisa limbung karena seolah harus berdiri sendiri tanpa dukungan yang selama ini dinikmatinya. Jadi, ada ketakutan untuk lepas dari pegangan. Di sinilah kepemimpinan dirinya diuji. Walaupun sebanyak mungkin tentang “modal” kepercayaan diri disodorkan, namun bagi seorang yang beriman, keyakinan diperoleh semata melalui pertalian erat dengan Yang Maha Kuasa. Tanpa pernah putus asa akan pertolongan Allah, seorang pemimpin akan memiliki dasar yang kuat untuk mengarahkan negeri ini ke alur pemulihan yang benar.

Mekanisme kedua melalui hukum. Dengan terbentuknya kepemimpinan yang kokoh maka akan terbentuk undang-undang dan hukum yang kuat. Polisi atau kejaksaan dapat melakukan penyelidikan tanpa adanya intervensi dari pihak manapun dan segera merespon delik aduan agar tidak mempertebal kayakinan rakyat bahwa penindakan kasus suap dan korupsi hanya basa-basi belaka, tapi juga akan menimbulkan dugaan bahwa korupsi dan suap adalah jaring-jaring raksasa. Semua orang terperangkap didalamnya. Jika demikian, rakyat tidak lagi bisa berharap kepada siapa pun. Reformasi yang diharapkan dapat mengubah perilaku pejabat, justru sebaliknya.

*. Penulis adalah mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Malang,

Konsentrasi Pendidikan Islam.

1 komentar: